robertuslitigasi.com

Artikel

Dapatkah Korban Perkosaan Melakukan Aborsi?

5982113

Di Indonesia, sering terjadi kekerasan atau paksaan seorang wanita untuk bersetubuh di luar nikah atau yang kita kenal sebagai pemerkosaan. Banyak sekali korban perkosaan yang tidak memahami hukum di Indonesia sehingga takut untuk membuat laporan polisi, namun artikel ini membahas tentang aborsi korban perkosaan. Mari kita bahas lebih lanjut dibawah ini.

Sebelumnya, kami akan menjelaskan mengenai pasal-pasal yang dapat menjerat pelaku tindak pidana perkosaan.

 

Pasal 285 KUHP :

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh  dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”

 

Pasal 286 KUHP :

“Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar pernikahan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”

 

Pasal 287 ayat (1) KUHP :

“Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar pernikahan, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalua umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

Kemudian, bagaimana perlindungan sang ibu bilamana memutuskan untuk melakukan aborsi terhadap anak tersebut?

Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, Setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali kriteria yang diperbolehkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Berikut penjelasan mengenai ketentuan tersebut :

 

Pasal 60 ayat (1) UU 17/2023 tentang Kesehatan :

“Setiap Orang dilarang melakukan aborsi, kecuali dengan kriteria yang diperbolehkan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana.”

 

Pasal 60 ayat (2) UU 17/2023 tentang Kesehatan :

“Pelaksanaan aborsi dengan kriteria yang diperbotehkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan:

  1. oleh Tenaga Medis dan dibantu Tenaga Kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan;
  2. pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri; dan

c dengan persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan dan dengan persetujuan suami, kecuali korban perkosaan.

 

Pasal 61 UU 17/2023 tentang Kesehatan :

“Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat bertanggung jawab melindungi dan mencegah perempuan dari tindakan aborsi yang tidak aman serta bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

 

Pasal 62 UU 17/2023 tentang Kesehatan :

“Ketentuan lebih lanjut mengenai aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 61 diatur dengan Peraturan Pemerintah”

Menurut Pasal 62 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, ketentuan lanjut mengenai aborsi dilanjutkan dalam Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Di dalam Pasal 31 jo. Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, seseorang korban hasil perkosaan diperbolehkan untuk melakukan aborsi dengan ketentuan sebagai berikut :

 

Pasal 31 PP 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi :

  • Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan :
  • Indikasi kedaruratan medis; atau
  • Kehamilan akibat perkosaan
  • Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

 

Pasal 34 PP 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi :

(1)  Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat 

(1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:

  1. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan
  2. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.

 

Menurut penjelasan pasal di atas, tindakan aborsi akibat perkosaan dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari sejak hari pertama haid terakhir dan usia kehamilan dinyatakan oleh surat keterangan dokter, keterangan penyidik, psikolog dan/atau ahli lainnya.

Lalu bagaimana untuk membuktikan seseorang merupakan korban hasil perkosaan?

Seperti penjelasan di atas, bahwa memerlukan keterangan penyidik, psikolog dan/atau ahli lainnya. Maka dari itu, diperlukan Visum et Repertum. Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan media terhadap seorang manusia (baik hidup maupun mati) atau bagian dari tubuh manusia (berupa temuan dan interpretasinya), di bawah sumpah untuk kepentingan peradilan. Visum et Repertum dapat digunakan sebagai alat bukti untuk membuktikan bahwa seseorang tersebut merupakan tindak pidana yang mana di dalam artikel ini merupakan korban tindak pidana perkosaan. Di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga dijelaskan mengenai alat bukti yang sah dalam pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Berikut kami jelaskan mengenai penjelasan pasal tersebut :

 

Pasal 24 UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual :

  • Alat bukti yang sah dalam pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas :
  • Alat bukti sebagaimana dalam hukum acara pidana
  • Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  • Barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau sebagai hasil Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan/atau benda atau barang yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut.
  • Termasuk alat bukti keterangan Saksi yaitu hasil pemeriksaan terhadap Saksi dan/atau Korban pada tahap penyidikan melalui perekaman elektronik.
  • Termasuk alat bukti surat yaitu :
  • Surat keterangan psikolog klinis dan/atau psikiater / dokter spesialis kedokteran jiwa;
  • Rekam medis
  • Hasil pemeriksaan forensik; dan/atau
  • Hasil pemeriksaan rekening bank

 

Kesimpulan:

Dari penjelasan pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang merupakan korban perkosaan dan kemudian hamil, dapat melakukan aborsi serta perlindungan hukum selama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah dijelaskan di atas serta dapat membuktikan bahwa seseorang tersebut merupakan korban perkosaan.

 

Ditulis oleh: Muhammad Raditya Vijayaputro, S.H., M.H. (Associate di Robertus & Associates)

Dasar Hukum: 

  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
  • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan 
  • Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi
Share:
Jadwalkan Pertemuan
Jika Anda membutuhkan pelayanan kami, jangan ragu untuk mengubungi kami. Kami akan segera menghubungi Anda. Solusi hukum Anda hanya dengan satu klik saja.